Rabu, 06 Agustus 2008

Resensi Buku

K.H. A. WAHID HASYIM:
SANG PEMBAHARU PENDIDIKAN DARI PESANTREN

Oleh:
Abdullah Hanif al- Qudsy
Alumnus Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak, Jawa Tengah dan kandidat Magister Pendidikan pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ)


Judul:
The Founding Fathers Pesantren Modern Indonesia
Jejak Langkah K.H.A. Wahid Hasyim
Penulis:
Ruchman Basori, M.A
Penerbit:
Indonesian Center for Education and Islamic Studies (INCEIS) Jakarta
Tebal:
x + 162 halaman
Tahun:
Cetakan I, September 2006


Pondok pesantren, dengan berbagai potensi yang dimilikinya, kini telah berubah menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mempunyai peran signifikan dan strategis dalam menyongsong perubahan sebagaimana lembaga pendidikan lainnya. Proses pendidikan yang berlangsung di pesantren telah membentuk santri yang mampu membantu masyarakat memecahkan problem sosialnya.
Benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini membutuhkan uraian yang relatif panjang. Oleh sebagian masyarakat pesantren masih dipahami sebagai lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan agama, memimpin tahlil dan yasin. Bidang-bidang lain seperti analisis social, IPTEK dan ketrampilan hidup (life skill) kurang mendapat perhatian. Memang tidak salah jika asumsi tersebut dialamatkan kepada pesantren sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Namun, pihak-pihak yang mempunyai pandangan yang bernada pejoratif tersebut tampaknya harus lebih cermat mengikuti perkembangan pesantren dan membuka mata lebar-lebar.
Pondok pesantren kini “tampil beda” dalam banyak hal. Setidaknya gambaran itu tampak dengan munculnya pesantren berbasis life skill seperti pesantren agribisnis, pesantren bahari, pesantren rehabilitasi sosial dan lain-lain. Dengan kondisi yang demikian, ditambah berbagai program perberdayaan yang digagas sedemikian rupa baik oleh pesantren sendiri maupun difasilitasi oleh LSM dan pemerintah (Departemen Agama), pesantren berpeluang menjadi ujung tombak bangsa menyongsong era globalisasi dan teknologi informasi. Sehingga, dalam beberapa tahun ke depan, alumni pesantren diprediksi mampu menjadi agent of social change, mampu membawa perubahan signifikan dan mampu memberikan solusi alternatif bagi problem yang dihadapi masyarakat, tidak lagi menjadi beban masyarakat.
Mengapa bisa demikian? Hal ini tidak lain karena pesantren sudah melakukan pembaharuan internal serta telah mengalami metamorphosis yang cukup jauh dan bahkan fundamental. H. Amin Haedari menyebutnya dengan Trilogi Pengembangan Pesantren, yaitu mengadopsi metode baru yang prospektif tanpa harus kehilangan ciri khasnya sebagai sebuah lembaga pendidikan yang bernama pesantren, yang merupakan perwujudan dari konsep al-muchaafadlatu ala al-qadiim al-shalih, wa al-akhdu bi al-jadiid al-ashlach. Hanya saja, jika kita berbicara hasil, maka setiap pesantren akan berkembang dan mencapai taraf yang berbeda-beda karena faktor-faktor yang terlibat di dalamnya juga berbeda-beda.
Itulah pesan yang ingin disampaikan oleh K.H. A. Wahid Hasyim sekitar limapuluh tahun yang lalu (1945-an) sebagaimana terungkap dalam buku karya Ruchman Basori: “The Founding Fathers Pesantren Modern Indonesia Jejak Langkah K.H. A. Wahid Hasyim” ini. Sebagai seorang tokoh besar, ide-ide yang diusungpun tak kalah besarnya. Dan tampaknya baru tahun-tahun belakangan ini, pesantren berkembang seperti harapan K.H. A. Wahid Hasyim. Andai masih hidup, tentu beliau akan sangat senang bahwa ide-idenya terbukti. Gus Wahid, panggilan K.H. A. Wahid Hasyim, bisa dikatakan merupakan seorang pembaharu hebat karena ide-ide pembaharuan yang dikemukakannya brilian. Substansi dari ide pembaharuan yang dikemukakan K.H. A. Wahid Hasyim adalah perubahan paradigmatik pesantren sekaligus madrasah saat itu. Penulis mengklasifikasikan pembaharuan paradigma tersebut ke dalam tiga kelompok dari paradigma teosentris ke antroposentris, dari paradigma dikotomik ke non dikotomis, dan dari paradigma teoritis menuju praktis (hal. 103 – 120).
Ide pembaharuan tersebut dikatakan brilian karena tema-tema itulah yang menjadi concern utama para tokoh pendidikan kontemporer. Dalam pendidikan Islam, paradigma antroposentris dianggap sama pentingnya dengan paradigma teosentris dalam kapasitasnya sebagai ruh pendidikan karena pendidikan pada dasarnya merupakan proses membekali manusia untuk hidup menjadi ”manusia”, bukan sekedar mahluk hamba Tuhan, sehingga harus berorientasi antropos (kemanusiaan). Selanjutnya, perlakuan yang dikotomis terhadap ilmu pengetahuan justru membuat manusia tercerabut dari eksistensi dirinya sebagai mahluk pembelajar. Dan, ilmu pengetahuan, dalam Islam, bukan hanya sebatas dipelajari dan dihafalkan semata namun juga dipraktekkan secara nyata, dari teoritis menuju praktis. Tiga mindset yang dikemukakan Gus Wahid itulah yang mendasari dan mengilhami perkembangan beberapa pesantren hingga seperti sekarang ini.
Buku ini setidaknya menjadi salah satu karya yang cukup strategis di tengah maraknya kecenderungan yang mulai meluas bahwa karya-karya (dan juga penelitian) yang berbasis pemikiran tokoh mulai jarang dilirik. Sebagai sebuah kajian tokoh, tentu biografi merupakan aspek yang tidak bisa ditinggalkan. Buku ini mampu mengupas dengan cukup detail latar belakang sosial dan intelektual seorang Gus Wahid. Ini menjadi kerangka dasar yang cukup fundamental guna membaca pemikiran sang tokoh. Meskipun tokoh yang dikaji adalah politikus, birokrat dan aktifis organisasi sosial, namun buku ini lebih banyak memberikan perhatian pada pemikiran pendidikan beliau saja.
Salah satu kekuatan yang dimiliki oleh K.H. A. Wahid Hasyim yang tidak banyak dijumpai pada tokoh lain adalah bahwa ide-ide brilian yang beliau miliki dapat segera diaplikasikan karena beliau memiliki kualitas, kapasitas dan otoritas. Dalam hal ini, selain sebagai pengasuh pesantren (pendidik) dan penulis produktif yang gemar menyuarakan gagasan-gagasan demi kemajuan pendidikan Islam, khususnya pesantren, melalui media beliau adalah pemegang kebijakan, yaitu sebagai ketua LP Ma’arif sekaligus Menteri Agama yang mempunyai wewenang dalam menentukan arah kebijakan, terutama dalam bidang pendidikan. Fakta ini membuat K.H. A. Wahid Hasyim tidak hanya berfikir pendidikan dalam konteks ideal dan melangit bak menara gading, namun juga realitis. Namun demikian, di tengah hebatnya gagasan-gagasan beliau, sosok Gus Wahid tetaplah manusia biasa yang juga mempunyai kelemahan sebagaimana dikupas pada halaman 75.
Harus diakui bahwa karya ini mempunyai kekuatan analisis yang cukup tajam dan mendalam karena pada dasarnya merupakan tugas akhir pada pendidikan tinggi (pasca sarjana). Ini artinya, dalam konteks akademik, karya ini mempunyai bobot yang lebih baik karena bukan hanya bersifat studi literer, namun juga diperkuat dengan kesan empiriknya melalui wawancara dengan pihak-pihak yang kompeten. Namun demikian, bukan berarti hanya kalangan akademik saja yang dapat memahami bahasa yang dipergunakan dalam buku ini. Semua kalangan bisa menikmati buku ini karena disuguhkan dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
Selain itu, meskipun dikenal sebagai penulis produktif, namun tidak banyak gagasan-gagasan K.H. A. Wahid Hasyim yang didokumentasikan dengan baik. Kehadiran buku ini mampu mengisi kekosongan itu dan semakin melengkapi literatur tentang sosok dan tokoh penting dunia pesantren berikut pemikirannya. Upaya penulis untuk menyatukan ide-ide dan pemikiran pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim dalam sebuah karya ini, tampaknya cukup layak untuk mendapatkan apresiasi. Jika pembaca adalah satu di antara orang yang kesulitan mendapatkan karya tentang K.H. A. Wahid Hasyim yang jumlahnya memang tidak banyak, buku ini bisa menjadi salah satu rujukan yang cukup komprehensif.
Salah satu apresiasi positif tentang karya ini adalah disampaikan oleh Prof. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam yang saat ini menjabat Direktur Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI:
“Tidak mudah mengkaji pemikiran KH. A. Wahid Hasyim, karena meskipun beliau adalah ulama intelek yang produktif namun pemikiran-pemikiran beliau banyak yang tidak dipublikasikan. Ruchman Basori ini berhasil memberikan gambaran betapa seorang ulama mampu berpikir kedepan (visioner-futuristik) dengan ide-ide besarnya, sekaligus membuktikan bahwa Indonesia sangat kaya dengan pemikiran-pemikiran unik dan orisinal”. (hlm. vii)

Tiada gading yang tak retak
Tiada gading yang tak retak, karya inipun tidak lepas dari beberapa “lubang” yang sudah selayaknya menjadi perhatian pembaca. Akan lebih sempurna jika penulis mampu menutup lubang-lubang tersebut sebagai catatan penting untuk perbaikan ke depan:
Pertama, perlu adanya sebuah penegasan etimologis maupun terminologis mengenai apa yang dimaksud dengan pesantren modern dalam konteks ini. Hal ini diperlukan untuk memberikan sebuah keunikan dan kekhasan tersendiri baik bagi pesantren “zaman” K.H. A. Wahid Hasyim maupun dalam konteks pesantren modern sebagaimana diasumsikan banyak orang. Setiap terdengar kata “pesantren modern”, maka asumsi yang muncul di benak sebagian orang adalah sebuah pesantren yang identik dengan penguasaan bahasa asing (terutama Arab dan Inggris) serta tidak lagi menekankan pada penguasaan karya-karya ulama klasik (kitab kuning) melalui sistem sorogan maupun bandongan.
Kedua, dalam keluarga besar Hadratus Syaih Hasyim Asy’ari, harus diakui bahwa salah satu nama yang paling menonjol adalah Abdurahman Wahid (Gus Dur), yang tidak lain adalah putra K.H. A. Wahid Hasyim. Karya ini akan semakin lengkap jika mampu menggali informasi dan data mengenai Gus Wahid dari Gus Dur. Karena jika dirunut secara cermat, antara KH. Hasyim Asy’ari, Gus Wahid dan Gus Dur mempunyai sifat yang relatif mirip, yaitu sering kali mempunyai ide yang tidak populer atau bahkan kontroversial pada zamannya. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dikatakan gila ketika membangun pesantren di daerah Tebuireng yang dikenal sebagai sarang perampok (lihat Abdurrahman Mas’ud: 2004 ). Demikian juga Gus Wahid yang mengkritisi metode sorogan dan bandongan yang dikatakannya tidak efektif dan efisien bagi santri dan perlu diganti dengan tutorial. Sementara Gus Dur semua orang tahu betapa kontoversialnya beliau. Pandangan-pandangan Gus Dur tentang pemikiran ayahnya bisa jadi berbeda dengan orang-orang yang dijadikan sebagai sumber-sumber informasi dan data dalam penyusunan karya ini.
Ketiga, sebagai salah satu concern utama, pemikiran pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim seharusnya mendapat porsi penjelasan yang relatif lebih mendalam dibanding materi lainnya. Penjelasan mengenai orientasi, materi dan metode pendidikan Islam (hal. 88 –90) tampaknya kurang mampu menggambarkan secara komprehensif mengenai pemikiran pendidikan tokoh tersebut.
Keempat, buku ini lebih banyak menyoroti kiprah dan peran K.H. A. Wahid Hasyim dalam dunia pesantren, dan kurang detail menjelaskan peran beliau yang berkaitan dengan madrasah yang sebenarnya tidak kalah besarnya. Sebagai pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif NU dan Menteri Agama, tentu beliau mempunyai kontribusi yang tidak bisa dianggap remeh dalam sejarah perjalanan pendidikan madrasah yang berada di bawah naungan LP Maarif.
Akhirnya, kami berharap semoga para pembaca dapat meneladani ketokohan KH.A. Wahid Hasyim yang berjiwa progresif, penuh inisiatif dan sekaligus visioner-futuristik. Buku ini layak dibaca sebagai bahan inspirasi dan referensi. Kepada para pengelola lembaga pendidikan baik pesantren maupun madrasah, serta pihak-pihak yang mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap perkembangan pendidikan Islam, karya ini pantas untuk diberi label highly recommended.



















Resensi Buku

K.H. A. WAHID HASYIM:
SANG PEMBAHARU PENDIDIKAN DARI PESANTREN

Oleh:
Abdullah Hanif al- Qudsy
Alumnus Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak, Jawa Tengah dan kandidat Magister Pendidikan pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ)


Judul
:
The Founding Fathers Pesantren Modern Indonesia
Jejak Langkah K.H.A. Wahid Hasyim
Penulis
:
Ruchman Basori, M.A
Penerbit
:
Indonesian Center for Education and Islamic Studies (INCEIS) Jakarta
Tebal
:
x + 162 halaman
Tahun
:
Cetakan I, September 2006


Pondok pesantren, dengan berbagai potensi yang dimilikinya, kini telah berubah menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mempunyai peran signifikan dan strategis dalam menyongsong perubahan sebagaimana lembaga pendidikan lainnya. Proses pendidikan yang berlangsung di pesantren telah membentuk santri yang mampu membantu masyarakat memecahkan problem sosialnya.
Benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini membutuhkan uraian yang relatif panjang. Oleh sebagian masyarakat pesantren masih dipahami sebagai lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan agama, memimpin tahlil dan yasin. Bidang-bidang lain seperti analisis social, IPTEK dan ketrampilan hidup (life skill) kurang mendapat perhatian. Memang tidak salah jika asumsi tersebut dialamatkan kepada pesantren sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Namun, pihak-pihak yang mempunyai pandangan yang bernada pejoratif tersebut tampaknya harus lebih cermat mengikuti perkembangan pesantren dan membuka mata lebar-lebar.
Pondok pesantren kini “tampil beda” dalam banyak hal. Setidaknya gambaran itu tampak dengan munculnya pesantren berbasis life skill seperti pesantren agribisnis, pesantren bahari, pesantren rehabilitasi sosial dan lain-lain. Dengan kondisi yang demikian, ditambah berbagai program perberdayaan yang digagas sedemikian rupa baik oleh pesantren sendiri maupun difasilitasi oleh LSM dan pemerintah (Departemen Agama), pesantren berpeluang menjadi ujung tombak bangsa menyongsong era globalisasi dan teknologi informasi. Sehingga, dalam beberapa tahun ke depan, alumni pesantren diprediksi mampu menjadi agent of social change, mampu membawa perubahan signifikan dan mampu memberikan solusi alternatif bagi problem yang dihadapi masyarakat, tidak lagi menjadi beban masyarakat.
Mengapa bisa demikian? Hal ini tidak lain karena pesantren sudah melakukan pembaharuan internal serta telah mengalami metamorphosis yang cukup jauh dan bahkan fundamental. H. Amin Haedari menyebutnya dengan Trilogi Pengembangan Pesantren, yaitu mengadopsi metode baru yang prospektif tanpa harus kehilangan ciri khasnya sebagai sebuah lembaga pendidikan yang bernama pesantren, yang merupakan perwujudan dari konsep al-muchaafadlatu ala al-qadiim al-shalih, wa al-akhdu bi al-jadiid al-ashlach. Hanya saja, jika kita berbicara hasil, maka setiap pesantren akan berkembang dan mencapai taraf yang berbeda-beda karena faktor-faktor yang terlibat di dalamnya juga berbeda-beda.
Itulah pesan yang ingin disampaikan oleh K.H. A. Wahid Hasyim sekitar limapuluh tahun yang lalu (1945-an) sebagaimana terungkap dalam buku karya Ruchman Basori: “The Founding Fathers Pesantren Modern Indonesia Jejak Langkah K.H. A. Wahid Hasyim” ini. Sebagai seorang tokoh besar, ide-ide yang diusungpun tak kalah besarnya. Dan tampaknya baru tahun-tahun belakangan ini, pesantren berkembang seperti harapan K.H. A. Wahid Hasyim. Andai masih hidup, tentu beliau akan sangat senang bahwa ide-idenya terbukti. Gus Wahid, panggilan K.H. A. Wahid Hasyim, bisa dikatakan merupakan seorang pembaharu hebat karena ide-ide pembaharuan yang dikemukakannya brilian. Substansi dari ide pembaharuan yang dikemukakan K.H. A. Wahid Hasyim adalah perubahan paradigmatik pesantren sekaligus madrasah saat itu. Penulis mengklasifikasikan pembaharuan paradigma tersebut ke dalam tiga kelompok dari paradigma teosentris ke antroposentris, dari paradigma dikotomik ke non dikotomis, dan dari paradigma teoritis menuju praktis (hal. 103 – 120).
Ide pembaharuan tersebut dikatakan brilian karena tema-tema itulah yang menjadi concern utama para tokoh pendidikan kontemporer. Dalam pendidikan Islam, paradigma antroposentris dianggap sama pentingnya dengan paradigma teosentris dalam kapasitasnya sebagai ruh pendidikan karena pendidikan pada dasarnya merupakan proses membekali manusia untuk hidup menjadi ”manusia”, bukan sekedar mahluk hamba Tuhan, sehingga harus berorientasi antropos (kemanusiaan). Selanjutnya, perlakuan yang dikotomis terhadap ilmu pengetahuan justru membuat manusia tercerabut dari eksistensi dirinya sebagai mahluk pembelajar. Dan, ilmu pengetahuan, dalam Islam, bukan hanya sebatas dipelajari dan dihafalkan semata namun juga dipraktekkan secara nyata, dari teoritis menuju praktis. Tiga mindset yang dikemukakan Gus Wahid itulah yang mendasari dan mengilhami perkembangan beberapa pesantren hingga seperti sekarang ini.
Buku ini setidaknya menjadi salah satu karya yang cukup strategis di tengah maraknya kecenderungan yang mulai meluas bahwa karya-karya (dan juga penelitian) yang berbasis pemikiran tokoh mulai jarang dilirik. Sebagai sebuah kajian tokoh, tentu biografi merupakan aspek yang tidak bisa ditinggalkan. Buku ini mampu mengupas dengan cukup detail latar belakang sosial dan intelektual seorang Gus Wahid. Ini menjadi kerangka dasar yang cukup fundamental guna membaca pemikiran sang tokoh. Meskipun tokoh yang dikaji adalah politikus, birokrat dan aktifis organisasi sosial, namun buku ini lebih banyak memberikan perhatian pada pemikiran pendidikan beliau saja.
Salah satu kekuatan yang dimiliki oleh K.H. A. Wahid Hasyim yang tidak banyak dijumpai pada tokoh lain adalah bahwa ide-ide brilian yang beliau miliki dapat segera diaplikasikan karena beliau memiliki kualitas, kapasitas dan otoritas. Dalam hal ini, selain sebagai pengasuh pesantren (pendidik) dan penulis produktif yang gemar menyuarakan gagasan-gagasan demi kemajuan pendidikan Islam, khususnya pesantren, melalui media beliau adalah pemegang kebijakan, yaitu sebagai ketua LP Ma’arif sekaligus Menteri Agama yang mempunyai wewenang dalam menentukan arah kebijakan, terutama dalam bidang pendidikan. Fakta ini membuat K.H. A. Wahid Hasyim tidak hanya berfikir pendidikan dalam konteks ideal dan melangit bak menara gading, namun juga realitis. Namun demikian, di tengah hebatnya gagasan-gagasan beliau, sosok Gus Wahid tetaplah manusia biasa yang juga mempunyai kelemahan sebagaimana dikupas pada halaman 75.
Harus diakui bahwa karya ini mempunyai kekuatan analisis yang cukup tajam dan mendalam karena pada dasarnya merupakan tugas akhir pada pendidikan tinggi (pasca sarjana). Ini artinya, dalam konteks akademik, karya ini mempunyai bobot yang lebih baik karena bukan hanya bersifat studi literer, namun juga diperkuat dengan kesan empiriknya melalui wawancara dengan pihak-pihak yang kompeten. Namun demikian, bukan berarti hanya kalangan akademik saja yang dapat memahami bahasa yang dipergunakan dalam buku ini. Semua kalangan bisa menikmati buku ini karena disuguhkan dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
Selain itu, meskipun dikenal sebagai penulis produktif, namun tidak banyak gagasan-gagasan K.H. A. Wahid Hasyim yang didokumentasikan dengan baik. Kehadiran buku ini mampu mengisi kekosongan itu dan semakin melengkapi literatur tentang sosok dan tokoh penting dunia pesantren berikut pemikirannya. Upaya penulis untuk menyatukan ide-ide dan pemikiran pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim dalam sebuah karya ini, tampaknya cukup layak untuk mendapatkan apresiasi. Jika pembaca adalah satu di antara orang yang kesulitan mendapatkan karya tentang K.H. A. Wahid Hasyim yang jumlahnya memang tidak banyak, buku ini bisa menjadi salah satu rujukan yang cukup komprehensif.
Salah satu apresiasi positif tentang karya ini adalah disampaikan oleh Prof. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam yang saat ini menjabat Direktur Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI:
“Tidak mudah mengkaji pemikiran KH. A. Wahid Hasyim, karena meskipun beliau adalah ulama intelek yang produktif namun pemikiran-pemikiran beliau banyak yang tidak dipublikasikan. Ruchman Basori ini berhasil memberikan gambaran betapa seorang ulama mampu berpikir kedepan (visioner-futuristik) dengan ide-ide besarnya, sekaligus membuktikan bahwa Indonesia sangat kaya dengan pemikiran-pemikiran unik dan orisinal”. (hlm. vii)

Tiada gading yang tak retak
Tiada gading yang tak retak, karya inipun tidak lepas dari beberapa “lubang” yang sudah selayaknya menjadi perhatian pembaca. Akan lebih sempurna jika penulis mampu menutup lubang-lubang tersebut sebagai catatan penting untuk perbaikan ke depan:
Pertama, perlu adanya sebuah penegasan etimologis maupun terminologis mengenai apa yang dimaksud dengan pesantren modern dalam konteks ini. Hal ini diperlukan untuk memberikan sebuah keunikan dan kekhasan tersendiri baik bagi pesantren “zaman” K.H. A. Wahid Hasyim maupun dalam konteks pesantren modern sebagaimana diasumsikan banyak orang. Setiap terdengar kata “pesantren modern”, maka asumsi yang muncul di benak sebagian orang adalah sebuah pesantren yang identik dengan penguasaan bahasa asing (terutama Arab dan Inggris) serta tidak lagi menekankan pada penguasaan karya-karya ulama klasik (kitab kuning) melalui sistem sorogan maupun bandongan.
Kedua, dalam keluarga besar Hadratus Syaih Hasyim Asy’ari, harus diakui bahwa salah satu nama yang paling menonjol adalah Abdurahman Wahid (Gus Dur), yang tidak lain adalah putra K.H. A. Wahid Hasyim. Karya ini akan semakin lengkap jika mampu menggali informasi dan data mengenai Gus Wahid dari Gus Dur. Karena jika dirunut secara cermat, antara KH. Hasyim Asy’ari, Gus Wahid dan Gus Dur mempunyai sifat yang relatif mirip, yaitu sering kali mempunyai ide yang tidak populer atau bahkan kontroversial pada zamannya. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dikatakan gila ketika membangun pesantren di daerah Tebuireng yang dikenal sebagai sarang perampok (lihat Abdurrahman Mas’ud: 2004 ). Demikian juga Gus Wahid yang mengkritisi metode sorogan dan bandongan yang dikatakannya tidak efektif dan efisien bagi santri dan perlu diganti dengan tutorial. Sementara Gus Dur semua orang tahu betapa kontoversialnya beliau. Pandangan-pandangan Gus Dur tentang pemikiran ayahnya bisa jadi berbeda dengan orang-orang yang dijadikan sebagai sumber-sumber informasi dan data dalam penyusunan karya ini.
Ketiga, sebagai salah satu concern utama, pemikiran pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim seharusnya mendapat porsi penjelasan yang relatif lebih mendalam dibanding materi lainnya. Penjelasan mengenai orientasi, materi dan metode pendidikan Islam (hal. 88 –90) tampaknya kurang mampu menggambarkan secara komprehensif mengenai pemikiran pendidikan tokoh tersebut.
Keempat, buku ini lebih banyak menyoroti kiprah dan peran K.H. A. Wahid Hasyim dalam dunia pesantren, dan kurang detail menjelaskan peran beliau yang berkaitan dengan madrasah yang sebenarnya tidak kalah besarnya. Sebagai pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif NU dan Menteri Agama, tentu beliau mempunyai kontribusi yang tidak bisa dianggap remeh dalam sejarah perjalanan pendidikan madrasah yang berada di bawah naungan LP Maarif.
Akhirnya, kami berharap semoga para pembaca dapat meneladani ketokohan KH.A. Wahid Hasyim yang berjiwa progresif, penuh inisiatif dan sekaligus visioner-futuristik. Buku ini layak dibaca sebagai bahan inspirasi dan referensi. Kepada para pengelola lembaga pendidikan baik pesantren maupun madrasah, serta pihak-pihak yang mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap perkembangan pendidikan Islam, karya ini pantas untuk diberi label highly recommended.

Selasa, 05 Agustus 2008

Assalamu'aliakum. Wr.Wb.

Dengan bismillah blog ini dibuat, mudah-mudahan membaw manfaat. amiin.

Wassalam.